Senin, 15 Juni 2009

Advokat Sebagai Kekuatan Sosial

Advokat Sebagai Kekuatan Sosial

Oleh:

Anjaz Hilman, SH.

(Difla El Qudsi & Partners ; Advocates & Counselors At Law)

“Yang menjadi hukum ialah praktik sehari-hari oleh pejabat hukum. Kalau kelakuan pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya berubah, ini berarti bahwa hukum sudah berubah walaupun undang-undangnya sama saja seperi dulu”

“Singkatnya, profesi advokat tidak lagi merupakan perkumpulan yang dekat, melainka lebih memuat kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan asal, pengalaman dan orientasi profesional. Jika di masa lalu perbedaan utama adalah antara advokat profesional dan pokrol bambu, maka saat ini terlalu, banyak garis pembeda yang memisahkan advokat yang atau dengan yang lain.”

Prof. Daniel S. Lev.

Melalui agenda reformasi hukum yang terus digulirkan, tibalah saatnya menyentuh aktor terakhir penegak hukum, yaitu advokat/penasehat hukum. Elemen tersebut selama ini keberadaannya cenderung terdistorsi dengan pencitraan negatif. Ditandai dengan pengesahan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, para pelaku profesi ini boleh berbangga hati sebab hal ini menandai pengakuan utuh negara terhadap profesi, serta sekaligus membuka peluang pengembangan profesi sehingga menjadi lebih maju menjauh dari pencitraan di masyarakat yang selama ini kadung buruk.

Undang-undang advokat Pasal 1 huruf a merumuskan advokat sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang–undang ini. Dan pada Pasal 1 huruf b dijelaskan secara definitif yang dikategorikan sebagai jasa hukum adalah konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien.

Dalam terjemahan tekstual pada rumusan pasal di atas, advokat diterjemahkan secara umum sebagai suatu profesi belaka, namun tidak menyinggung posisi advokat dalam hubungannya dengan negara yang memiliki karakter khusus dalam menjalankan profesinya. Pola hubungan ini terekam dalam sistem peradilan Indonesia sebagai manifestasi pelaksanaan kekuasaan yudikatif.

Sistem peradilan sebagai bentuk mekanisme penegakan hukum diisi oleh aktor-aktor penegak hukum terdiri dari polisi, jaksa, hakim kemudian advokat. Kuartet ini melalui sistem peradilan diharapkan dapat menghadirkan proses penegakan hukum yang berkeadilan sesuai dengan cita negara hukum. Kita ketahui bahwa tiga dari kuartet (polisi, jaksa & hakim) adalah bentuk representasi negara dalam sistem peradilan, sedangkan advokat bertindak mewakili masyarakat pencari keadilan dan diposisikan di luar sistem.

Polisi, jaksa dan hakim memiliki legitimasi formal dari negara sebagai bentuk konkrit pengamalan trias politika, sedangkan advokat tidak memiliki legitimasi seperti itu. Legimasi bagi para advokat tercermin dari kepercayaan masyarakat terhadapnya (legitimasi sosial) .

***

Secara historis peran penasehat hukum ada seiring perkembangan hukum dan masyarakat, hukum akan selalu ada selagi ada masyarakat dan masyarakat memerlukan hukum sekaligus menghendaki penegakan hukum. Kemudian negara sebagai wujud kekuasaan formal, bersama perangkat dan sistem hukumnya dipercayakan untuk melengkapi hukum yang tadi masih berupa kesadaran dan norma moral sehingga menjadi aturan atau norma hukum yang dapat ditegakkan (enforceable). Dalam negara modern ialah dalam bentuk trias politica negara menjalankan tugasnya.

Bersama bertumbuhnya masyarakat dan negara, advokat tumbuh sebagai bagian penegakan hukum yang substansial yang mengunakan pendekatan langsung kepada kepentingan hukum dan keadilan masyarakat banyak. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan negara yang bertumpu kekuasaan dengan pendekatan ketertiban umum (openbare order) dengan seperangkat aturan (rules) guna memberikan kepastian hukum. Sebagai pemegang mandat kekuasaan, negara demi ketertiban hukum lantas membentuk organ atau struktur penegak hukum (yudikatif) pelaksana sistem peradilan.

Dua pendekatan yang berbeda dari aktor yang berbeda juga menghasilkan karakteristik yang berbeda pula. Bagi negara, sebagai penguasa yang berperan sebagai suprasturuktur dalam pembentukan, penyelenggara dan pelaksana aturan yang telah dibuat, tidak ada pilihan sistem yang dibangun tidak dapat dilepaskan dari cirinya yang bersifat birokratik, maka jadilah ‘keadilan yang birokratis’ .

Sedangkan bagi advokat sebagai unsur independen –dalam arti tidak terikat pada struktur kekuasaan negara, menjalankan perannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Independensi profetik yang dimilikinya sungguh menjadi penjamin profesi ini dimata masyarakat pencari keadilan sekaligus dihadapan penguasa, dengan kepentingan utamanya yaitu memastikan keabsahan proses keadilan yang diselenggarakan negara pada setiap tahapan (legislasi, eksekusi dan yudikasi). Adapun setidaknya independensi profetik yang dimaksud ialah ; Independensi etis dan independensi organisatoris.

Independensi etis, merupakan keadaan yang didasari oleh kesadaran akan moralitas yang disertai dengan semangat mencari keadilan dan kebenaran sebagai tujuan utamanya. Moralitas yang dijunjung tinggi adalah nilai-nilai kebaikan dengan kejujuran dan budi yang lurus bukan argumen-argumen pembenaran sebab keadilan diciptakan bagi semua (justitia voor eideren) yang diberlakukan secara imparsial dan non-diskriminasi. Sedangkan independensi organisatoris menekankan kemandirian organisasi berdiri dengan konsisten berhadapan dengan penguasa dan kekuasaan.

Dengan alasan kemandirian sebagai landasan dalam menjalankan proses penegakan hukum yang adil. Ditambah dengan kenyataan kemampuan negara – penguasa- melakukan intervensi terhadap berjalannya proses yang adil (due proses of law) , penguatan organisasi dalam segala aspek menjadi agenda sangat penting setidaknya dengan bersama dalam organisasi dapat mengimbangi kualitas intervensi yang ada. Apalagi hari ini tidak hanya penguasa yang mengintervensi proses hukum akan tetapi juga banyak pihak-pihak lain yang mencoba merecoki proses hukum tersebut, dan untuk ini dengan independensinya organisasi advokat harus bisa tetap berdiri tegak dan berkata tidak pada segala jenis intervensi.

Selanjutnya, independensi tersebut dinyatakan dalam bentuk tindakan dan peran nyata dalam menjamin dan mengawasi penyelenggaraan keadilan dan kepentingan hukum masyarakat baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Di dalam sidang pengadilan jelas peran yang dimainkan sebagai pembela kepentingan hukum –kepentingan yang sah menurut hukum bukan kepentingan an sich untuk menang dalam kondisi apapun- pihak yang diwakili. Disinilah interaksi profesi dengan elemen negara (instansi kepolisian, kejaksaan dan hakim) dalam melakukan pembelaan terlihat nyata.

Di luar sidang pengadilan dalam melakoni peran publik advokat sebagai ahli hukum hendaknya aktif dalam diskursus perkembangan dan pembentukan norma hukum di masyarakat di berbagai tingkatan hingga ke lembaga legislatif, memantau kebijakan penguasa. Serta turut ambil bagian dalam upaya mengawasi tindakan pemerintah yang berpotensi melanggar hukum serta merugikan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Sedangkan dalam kerangka hubungan advokat dengan penguasan dan kekuasaan, secara moral ia harus berdiri sebagai oposisi laten dengan acuan nilai tetap pada kebenaran, hukum dan keadilan. Dengan alasan jika ditelisik lebih jauh, ternyata porsi peran yang lebih besar adalah peran publik advokat di luar pengadilan, yang secara signifikan menetukan kemanfaatan sosial keberadaan profesi ini di masyarakat.

Sebagai ahli hukum antara independensi dan intelektualitas, tidak lain menempatkan advokat sebagai ‘profesi yang mulia’ dalam peran dan tanggung jawab, tentu saja pada aspek-aspek pemeliharaan hukum dan keadilan. Dan dalam hal ini masyarakat berposisi sebagai pihak yang mengharap bantuan dalam penyelenggaraan hak atau kepentingan hukum mereka baik sebagai pribadi maupun dalam kedudukannnya sebagai warga negara pada wilayah publik.

Memang peran-peran publik seperti di atas berada dalam wilayah moral, intelektual dan keilmuan, yang bagi sebagian penyandang profesi advokat dianggap kurang memiliki tempat dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hukum yang dibela. Pilihan posisi bias seperti ini dalam kenyataan memang suatu yang sulit dihindari dan cenderung menjadi arus utama terutama dalam mengemari ‘modal’ dan kekuasaan.

Kecenderungan ini menarik sekali mengingat advokat berada diantara persimpangan antara menjadi insan penegak hukum yang sarat tanggung jawab terhadap masyarakatnya atau menjadi penghamba profesional dalam spektrum angkatan kerja belaka yang bertugas memberikan jasa hukum dengan tangungjawab hanya seputar aspek teknis-ekonomis saja dan ‘mengabdi’ pada tujuan-tujuan kapitalistik.

Tak pelak masyarakatpun membaca kebimbangan profetik tersebut sebagai suatu yang melemahkan cita luhur dari upaya penegakan hukum yang diharap-harapkan. Dengan kata lain, bagi masyarakat mencari keadilan dengan bantuan advokat berarti mencari keadilan “yang bersyarat”, sebab tidak jarang advokat tidak lagi memposisikan diri sebagaimana tanggungjawabnya akan tetapi acapkali berposisi hanya sekadar penghubung antara klien kepada polisi, jaksa dan hakim.

Keberadaan UU advokat bagi kita pelaku profesi hendaknya musti disikapi dengan arif dalam mengartikulasikannya pada kenyataan tidak sekedar terkungkung pada batasan orang yang memberikan jasa hukum - sesuai bunyi undang-undang. Ia selayaknya dibaca dalam lingkup yang lebih luas mengingat suatu yang officium nobile tidak an sich sebatas kerangka sempit definisi yang diberikan undang-undang saja sehingga profesi tetap memiliki nilai dan peran menentukan dalam perubahan sosial berikutnya.

* Diajukan untuk dimuat pada majalah IKADIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar