Senin, 15 Juni 2009

CLASS ACTION

CLASS ACTION

“Upaya Perlindungan Kepentingan Masyarakat dalam Sistem Hukum di Indonesia”

Oleh : Anjaz Hilman, SH.[1]


A. Latar Belakang & Pengertian Gugatan Kelas

1. Pengertian.

Sebagai lembaga baru, class action atau gugatan kelas diperkenalkan dalam sistem hukum modern, sebagai langkah yang tumbuh dari masyarakat dimana pada awalnya tumbuh dari kebutuhan masyarakat itu sendiri yang sadar akan hak-haknya sebagai warga negara. Hal ini disebabkan struktur yang selama ini ada dan terpelihara ternyata tidak memadai, sistem hukum selama ini hanya mengenal keberadaan subjek hukum sebagai pihak yang diakui untuk dapat mempertahankan hak-haknya dimuka hakim.

Subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban secara teoritis terdiri dari 2 (dua) bentuk ; pertama, orang sebagai subjek hukum alamiah (naturlijk persoon), kedua, subjek hukum buatan berupa badan-badan hukum (recht persoon) seperti negara, perusahaan, koperasi, yayasan dan lain sebagainya, yang terlebih dahulu disahkan sehingga dapat memiliki hak dan kewajiban.

Dengan sendirinya pihak-pihak yang dapat menuntut/mempertahankan hak dimuka hakim adalah mereka-mereka yang tergolong sebagai subyek hukum tersebut diatas baik secara perdata (privat) maupun pidana (publik). Lantas bagaimanakah jika perkara tersebut mengakibatkan kerugian pada orang banyak seperti apakah hukum mengaturnya?.

Sementara ini masyarakat dianggap sebagai kumpulan orang-orang, dimana orang-orang tersebut sebagai subjek hukum alamiah. Kenyataan (kumpulan) dalam hukum tidak dapat dikatakan sebagai keadaan yang mewakili kepentingan kelompok tertentu (publik). Dengan sendirinya jikalau akan dilakukan penuntutan dimuka hakim haruslah perkara yang bersifat keperdataan (privat) dan dilakukan oleh yang bersangkutan masing-masing. Sedangkan apabila hal yang hendak dituntut menyangkut kepentingan orang banyak (baca:kelompok), maka tidaklah dapat seseorang serta merta menggugat dengan menyatakan diri mewakili kepentingan kelompok tersebut.

Atas dasar bentuk yang kovensional inilah dirasakan adanya kekurangan sehingga menimbulkan kebutuhan akan adanya terobosan baru. Terobosan tersebut dalam sistem hukum modern kita sekarang ini dikenal sebagai Class Action (gugatan kelas), dimana memberikan peluang bagi masyarakat untuk menuntut/mempertahankan hak-haknya secara bersama-sama dengan cara perwakilan/representasi[2].

Perkembangan class action pertama kali dikenal dalam sistem common law, awal diperkenalkan di Inggris pada tahun 1873 melalui supreme court of judicature act 1873 dimana mengatur untuk dimungkinkannya kewenangan pengadilan untuk memutus perkara yang diajukan kelompok tertentu akibat kerugian yang dideritanya. Selanjutnya prosedur class action berkembang merambah negara-negara common law lainnya seperti Canada tahun 1881, AS tahun 1912, Australia 1976, India tahun 1908. Sedangkan di Indonesia baru dikenal secara formil semenjak dikeluarkannnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002.

Di Indonesia sendiri prosedur class action/represetative class dikenal dengan istilah gugatan kelas atau gugatan perwakilan kelompok (GPK)[3] atau gugatan kelompok. Sedangkan secara umum pengertian Class Action adalah gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan olah satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok[4].

Adapun rumusan yuridis class action terdapat dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2002[5], yang berbunyi ; Suatu tata cara pengajuan yang dilakukan satu orang atau lebih, bertindak mewakili kelompok untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili anggota kelompok yang jumlahnya banyak dan antara yang mewakili kelompok dengan anggota kelompok yang diwakili, memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum.

2. Class Action di Indonesia

Class action yang dikenal sebagai gugatan kelompok di Indonesia jauh sebelum dikeluarkannya peraturan mahkamah agung di atas telah lebih dahulu dipraktekkan. Praktek tersebut lazim dilakukan dalam hal pencemaran lingkungan dan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup & UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Contoh gugatan kelompok akibat pemadaman listrik selama 3 jam terhadap PLN.

Class action dalam kedua undang-undang tidak di rumuskan secara rinci mengenai prosedur acara yang harus dipenuhi akan tetapi sifatnya hanya memberikan hak bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengajukan tuntutan mengatasnamakan kepentingan yang diatur undang-undang (dalam hal ini kepentingan perlindungan lingkungan hidup[6] dan perlindungan konsumen)[7]. Dengan catatan ketentuan tersebut tidak mengurangi hak-hak kelompok masyarakat lain atau anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan serupa, sebab gugatan gugatan kelompok atau class action pada umumnya berbeda dengan gugatan kelompok LSM.

Sedangkan untuk perkara-perkara lain diluar perkara lingkungan dan konsumen tetap dimungkinkan ditempuh prosedur gugatan kelompok ini. Setelah dikeluarkan Perma No. 1 Tahun 2002 tidak lagi menimbulkan keraguan untuk ditempuhnya prosedur ini.

B. Prinsip & Syarat Formil gugatan kelompok.

Sesuai dengan rumusannya, gugatan kelompok berisikan tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok. Adapun prinsip yang menjadi landasan utama konsep class action atau gugatan kelompok adalah : pertama, prinsip numerousity merupakan faktor menandakan suatu gugatan dimaksud mewakili kepentingan suatu kelompok yang terdiri dari banyak orang. Kedua, prinsip commonality (kesamaan), yaitu prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta atau dasar hukum dan kesamaan tuntutan hukum[8], lebih lanjut adanya kesamaan ditandai dengan a.n :

· kesamaan kepentingan (same interest),

· kesamaan penderitaan (same grievance) dan

· kesamaan tujuan (same purpose)

Selanjutnya berdasarakan karakterisrik utama prosedur gugatan kelompok ,Perma No. 1 Tahun 2002 mengatur persyaratan formil dalam hal diajukannyan suatu gugatan kelompok, sebagai berikut :

1. Adanya kelompok

Menurut hukum terwujudnya suatu kelompok harus terdiri dari sekian banyak perorangan (individu) sehingga mampu menampilkan diri atau dapat dipastikan sebagai suatu kelompok[9]. Kelompok sebagai satuan tersendiri, secara formil harus dapat didefinisikan secara spesifik atau dapat di identifikasi dengan jelas.

Keberadaan kelompok dapat diketahui dengan :

a. Adanya anggota kelompok

Pasal 2 huruf a dan c Perma No. 1 Tahun 2002, berbunyi ”Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak hingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan”.

· Jumlah anggota kelompok dalam perma tidak menentukan batas minimal maupun maksimal

· akan tetapi untuk memenuhi prinsip commonality dan numerousity, dalam gugatan, kelompok harus didefinikan dengan rinci dan spesifik yang penting dapat dengan mudah keberadaannya dikenali.

b. Adanya Perwakilan kelompok

· Wakil kelompok dalam mengajukan gugatan bertindak untuk dan atas nama kelompok,

· boleh terdiri dari satu orang maupun beberapa orang

· Kedudukan wakil kelompok di hadapan hukum adalah sebagai kuasa (legal mandatory) dengan demikian wakil kelompok tidak memerlukan surat kuasa khusus[10].

· Adapun syarat seseorang dapat dikatakan sebagai wakil kelompok a.n ; memiliki kejujuran dan memiliki kesungguhan melindungi kepentingan anggota kelompok[11].

· Sedangkan bagi anggota yang menolak dapat dengan tegas menyatakan keluar dari kelompok (opt out) dan kepadanya tidak terikat putusan hakim[12].

2. Kesamaan fakta atau dasar hukum

· Kesamaan tersebut yang sama antar seluruh anggota dan wakil kelompok.

· Kesamaan tersebut harus bersifat substansial , yaitu kesamaan fakta atau kesamaan hukum yang dilanggar tergugat.

· Dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam gugatan dan dapat diterima dengan pertimbangan perbedaan tersebut tidak prisipil dan substansial, artinya tidak berbeda dalam kenyataan hukum yang terdapat dalam gugatan.

3. Kesamaan tuntutan

· Pasal 1 huruf b Perma No. 1 Tahun 2002, berbunyi, “Wakil kelompok adalah satu orang yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya”.

· Gugatan sebagai formulasi tuntutan merupakan pengejawantahan tujuan penuntutan itu sendiri oleh karena itu jika tujuan suatu penuntutan berbeda dengan yang lainnya maka dapat dikatakan berbeda pula formulasi gugatan.

· Untuk kepentingan gugatan kelompok, gugatan atau tuntutan harus didasari oleh kesamaan-kesamaan, misal kesamaan kerugian.

· Dengan adanya kesamaan tersebut memberikan hak bagi anggota kelompok untuk mengajukan tuntutan yang sama pula. Dap[at berupa ganti rugi, permintaan maaf, pemulihan kerusakan dll.

Dalam prosedur gugatan kelompok ini terdapat hal yang dikecualikan yaitu yang berkenaan dengan hak gugat LSM. Melalui UU pengelolaan lingkungan hisup dan perlindungan konsumen LSM sebagai organisasi diberi hak untuk mewakili kepentingan publik dalam hal perlindungan lingkungan dan perlindungan konsumen.

Prosedur pemberian undang-undang ini merupakan pengecualian terhadap prinsip communality dalam arti LSM bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian, maka untuk itu LSM harus memenuhi syarat formil sebagai badan hukum atau yayasan, memiliki tujuan yang tegas dan spesifik sesuai anggaran dasarnya. Serta telah menjalankan kegiatan sesuai anggaran dasar sebagai syarat materil, kegiatan mana harus berhubungan langsung dengan bidang sesuai UU (bidang lingkungan hidup atau perlindungan konsumen)

C. Prosedur acara gugatan kelompok

Prosedur beracara dalam gugatan kelompok ini berdasarkan ketentuan perma tetap tunduk pada ketentuan yang diatur dalam hukum acara perdata HIR dan RBG[13]. Secara umum syarat gugatan kelompok dapat dibagi 2 (dua), a.n :

1. Persyaratan umum berdasarkan hukum acara perdata.

Mulai dari formulasi gugatan dan proses pemeriksaan selanjutnya sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum acara perdata pada lazimnya (HIR/RBg).

2. Persyaratan khusus berdasarkan Perma

· Dalam formulasi gugatan harus memuat ; identitas lengkap wakil kelompok, definisi kelompok secara rinci dan spesifik, keterangan tentang anggota kelompok (untuk pemberitahuan), posita dari seluruh anggota kelompok berikut wakilnya (dikemukakan dengan jelas dan rinci), penegasan perihal bagian atau sub kelompok, tuntutan ganti rugi.

· Dalam proses pemeriksaan :

a. dapat dilakukan pemeriksaan awal, merupakan pemeriksaan syarat formil gugatan kelompok. Perihal adanya kelompok, wakil yang sah, adanya kesamaan fakta atau dasar hukum dan terdapat kesamaan jenis tuntutan.

b. Hakim dapat memberi nasihat sebelum melanjutkan pemeriksaan[14]

c. Penetapan hasil pemeriksaan awal[15], gugatan kelompok apabila memenuhi syarat-syarat maka hakim membuat penetapan untuk melanjutkan pemeriksaan dan sebaliknya.

· Pemeriksaan dilanjutkan sesuai ketentuan hukum acara perdata.

Jadi proses beracara melalui prosedur gugatan kelompok ini singkatnya, a.n ;

1. Gugatan dimasukkan ke pengadilan negeri bersangkutan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri

2. Dilakukan upaya perdamaian, Pasal 6 Perma.

“Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara”.

· Jika terjadi perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian[16], dan putusan berkekuatan hukum tetap.

3. Pemeriksaan awal, dilakukan untuk memeriksa syarat-syarat vformil gugatan.

4. Hakim dapat memberikan nasihatnya sebelum melanjutkan pemeriksaan berkenaan dengan kelengkapan syarat-syarat formil sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 Perma[17].

5. Pemeriksaan melalui acara biasa.

6. Putusan.

Kemudian terhadap segala apa yang terjadi selama proses pemeriksaan wajib diberitahukan kepada anggota kelompok (pasal 5 ayat 3 Perma).

D. Penutup

Sebagai sebuah terobosan baru class action atau gugatan kelompok, keberadaannya membuka akses lebih besar kepada masyarakat pencari keadilan untuk mempertahankan hak-haknya terhadap pihak-pihak yang merugikannya selain itu sebagai upaya efisiensi dan efektifitas pelaksanaan proses peradilan (due legal process) prose ini terbukti dapat mempersingkat waktu, sederhana dan berbiaya ringan.

Selain itu sebagai pilihan prosedur berperkara gugatan kelompok tidak membatasi pihak-pihak yang akan di gugat dalam hal ini pemerintah pun dapat diposisikan sebagai pihak tergugat apabila melakukan perbuatan yang telah merugikan merugikan. Dengan demikian manfaat kedepannya yang dapat dirasakan mempermudah proses penegakan hukum di Indonesia.

*Dipublikasikan pada http://sites.google.com/site/anjazhilman/ dan pada pelatihan Masyarakat antipornografi dan pornoaksi



[1] Advokat pada Difla El Qudsi & Partners; Advocates and Counselors at Law.

[2] Mengembangkan penyederhanaan akses masyarakat memperoleh keadilan dan untuk mengefektifkan efesiensi penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak (konsideran Perma No. 1 Tahun 2002 perihal tujuan pengaturan prosedur gugatan kelompok).

[3] Pasal 1 huruf a. Perma No. 1 Tahun 2002.

[4] Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Grafika, Jakarta, hal. 139.

[5] Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2002

[6] Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 UUPLH

[7] Pasal 46 (a) 1 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

[8] Harahap, yahya, Hukum Acara Perdata, Grafiti, Jakarta.

[9] Ibid. hal. 146.

[10] Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2002.

[11] Pasal 2 huruf c Perma No. 1 Tahun 2002

[12] Pasal 8 (a) 1 dan 2 Perma No. 1 Tahun 2002.

[13] Pasal 10 Perma No. 1 Tahun 2002, berbunyi, “Ketentuan –ketentuan yang telah diatur dalam hukum acara perdata tetap berlaku, di samping ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini".

[14] Pasal 5 (a) 2 Perma No. 1 Tahun 2002

[15] Pasal 5 (a) 3 dan 4 Perma No. 1 Tahun 2002

[16] Pasal 10 Perma No. 1 Tahun 2002 jo. Pasal 130 HIR.

[17] Pemeriksaan ini serupa dengan prosedur dismissal proses dalam acara TUN.

Advokat Sebagai Kekuatan Sosial

Advokat Sebagai Kekuatan Sosial

Oleh:

Anjaz Hilman, SH.

(Difla El Qudsi & Partners ; Advocates & Counselors At Law)

“Yang menjadi hukum ialah praktik sehari-hari oleh pejabat hukum. Kalau kelakuan pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya berubah, ini berarti bahwa hukum sudah berubah walaupun undang-undangnya sama saja seperi dulu”

“Singkatnya, profesi advokat tidak lagi merupakan perkumpulan yang dekat, melainka lebih memuat kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan asal, pengalaman dan orientasi profesional. Jika di masa lalu perbedaan utama adalah antara advokat profesional dan pokrol bambu, maka saat ini terlalu, banyak garis pembeda yang memisahkan advokat yang atau dengan yang lain.”

Prof. Daniel S. Lev.

Melalui agenda reformasi hukum yang terus digulirkan, tibalah saatnya menyentuh aktor terakhir penegak hukum, yaitu advokat/penasehat hukum. Elemen tersebut selama ini keberadaannya cenderung terdistorsi dengan pencitraan negatif. Ditandai dengan pengesahan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, para pelaku profesi ini boleh berbangga hati sebab hal ini menandai pengakuan utuh negara terhadap profesi, serta sekaligus membuka peluang pengembangan profesi sehingga menjadi lebih maju menjauh dari pencitraan di masyarakat yang selama ini kadung buruk.

Undang-undang advokat Pasal 1 huruf a merumuskan advokat sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang–undang ini. Dan pada Pasal 1 huruf b dijelaskan secara definitif yang dikategorikan sebagai jasa hukum adalah konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien.

Dalam terjemahan tekstual pada rumusan pasal di atas, advokat diterjemahkan secara umum sebagai suatu profesi belaka, namun tidak menyinggung posisi advokat dalam hubungannya dengan negara yang memiliki karakter khusus dalam menjalankan profesinya. Pola hubungan ini terekam dalam sistem peradilan Indonesia sebagai manifestasi pelaksanaan kekuasaan yudikatif.

Sistem peradilan sebagai bentuk mekanisme penegakan hukum diisi oleh aktor-aktor penegak hukum terdiri dari polisi, jaksa, hakim kemudian advokat. Kuartet ini melalui sistem peradilan diharapkan dapat menghadirkan proses penegakan hukum yang berkeadilan sesuai dengan cita negara hukum. Kita ketahui bahwa tiga dari kuartet (polisi, jaksa & hakim) adalah bentuk representasi negara dalam sistem peradilan, sedangkan advokat bertindak mewakili masyarakat pencari keadilan dan diposisikan di luar sistem.

Polisi, jaksa dan hakim memiliki legitimasi formal dari negara sebagai bentuk konkrit pengamalan trias politika, sedangkan advokat tidak memiliki legitimasi seperti itu. Legimasi bagi para advokat tercermin dari kepercayaan masyarakat terhadapnya (legitimasi sosial) .

***

Secara historis peran penasehat hukum ada seiring perkembangan hukum dan masyarakat, hukum akan selalu ada selagi ada masyarakat dan masyarakat memerlukan hukum sekaligus menghendaki penegakan hukum. Kemudian negara sebagai wujud kekuasaan formal, bersama perangkat dan sistem hukumnya dipercayakan untuk melengkapi hukum yang tadi masih berupa kesadaran dan norma moral sehingga menjadi aturan atau norma hukum yang dapat ditegakkan (enforceable). Dalam negara modern ialah dalam bentuk trias politica negara menjalankan tugasnya.

Bersama bertumbuhnya masyarakat dan negara, advokat tumbuh sebagai bagian penegakan hukum yang substansial yang mengunakan pendekatan langsung kepada kepentingan hukum dan keadilan masyarakat banyak. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan negara yang bertumpu kekuasaan dengan pendekatan ketertiban umum (openbare order) dengan seperangkat aturan (rules) guna memberikan kepastian hukum. Sebagai pemegang mandat kekuasaan, negara demi ketertiban hukum lantas membentuk organ atau struktur penegak hukum (yudikatif) pelaksana sistem peradilan.

Dua pendekatan yang berbeda dari aktor yang berbeda juga menghasilkan karakteristik yang berbeda pula. Bagi negara, sebagai penguasa yang berperan sebagai suprasturuktur dalam pembentukan, penyelenggara dan pelaksana aturan yang telah dibuat, tidak ada pilihan sistem yang dibangun tidak dapat dilepaskan dari cirinya yang bersifat birokratik, maka jadilah ‘keadilan yang birokratis’ .

Sedangkan bagi advokat sebagai unsur independen –dalam arti tidak terikat pada struktur kekuasaan negara, menjalankan perannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Independensi profetik yang dimilikinya sungguh menjadi penjamin profesi ini dimata masyarakat pencari keadilan sekaligus dihadapan penguasa, dengan kepentingan utamanya yaitu memastikan keabsahan proses keadilan yang diselenggarakan negara pada setiap tahapan (legislasi, eksekusi dan yudikasi). Adapun setidaknya independensi profetik yang dimaksud ialah ; Independensi etis dan independensi organisatoris.

Independensi etis, merupakan keadaan yang didasari oleh kesadaran akan moralitas yang disertai dengan semangat mencari keadilan dan kebenaran sebagai tujuan utamanya. Moralitas yang dijunjung tinggi adalah nilai-nilai kebaikan dengan kejujuran dan budi yang lurus bukan argumen-argumen pembenaran sebab keadilan diciptakan bagi semua (justitia voor eideren) yang diberlakukan secara imparsial dan non-diskriminasi. Sedangkan independensi organisatoris menekankan kemandirian organisasi berdiri dengan konsisten berhadapan dengan penguasa dan kekuasaan.

Dengan alasan kemandirian sebagai landasan dalam menjalankan proses penegakan hukum yang adil. Ditambah dengan kenyataan kemampuan negara – penguasa- melakukan intervensi terhadap berjalannya proses yang adil (due proses of law) , penguatan organisasi dalam segala aspek menjadi agenda sangat penting setidaknya dengan bersama dalam organisasi dapat mengimbangi kualitas intervensi yang ada. Apalagi hari ini tidak hanya penguasa yang mengintervensi proses hukum akan tetapi juga banyak pihak-pihak lain yang mencoba merecoki proses hukum tersebut, dan untuk ini dengan independensinya organisasi advokat harus bisa tetap berdiri tegak dan berkata tidak pada segala jenis intervensi.

Selanjutnya, independensi tersebut dinyatakan dalam bentuk tindakan dan peran nyata dalam menjamin dan mengawasi penyelenggaraan keadilan dan kepentingan hukum masyarakat baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Di dalam sidang pengadilan jelas peran yang dimainkan sebagai pembela kepentingan hukum –kepentingan yang sah menurut hukum bukan kepentingan an sich untuk menang dalam kondisi apapun- pihak yang diwakili. Disinilah interaksi profesi dengan elemen negara (instansi kepolisian, kejaksaan dan hakim) dalam melakukan pembelaan terlihat nyata.

Di luar sidang pengadilan dalam melakoni peran publik advokat sebagai ahli hukum hendaknya aktif dalam diskursus perkembangan dan pembentukan norma hukum di masyarakat di berbagai tingkatan hingga ke lembaga legislatif, memantau kebijakan penguasa. Serta turut ambil bagian dalam upaya mengawasi tindakan pemerintah yang berpotensi melanggar hukum serta merugikan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Sedangkan dalam kerangka hubungan advokat dengan penguasan dan kekuasaan, secara moral ia harus berdiri sebagai oposisi laten dengan acuan nilai tetap pada kebenaran, hukum dan keadilan. Dengan alasan jika ditelisik lebih jauh, ternyata porsi peran yang lebih besar adalah peran publik advokat di luar pengadilan, yang secara signifikan menetukan kemanfaatan sosial keberadaan profesi ini di masyarakat.

Sebagai ahli hukum antara independensi dan intelektualitas, tidak lain menempatkan advokat sebagai ‘profesi yang mulia’ dalam peran dan tanggung jawab, tentu saja pada aspek-aspek pemeliharaan hukum dan keadilan. Dan dalam hal ini masyarakat berposisi sebagai pihak yang mengharap bantuan dalam penyelenggaraan hak atau kepentingan hukum mereka baik sebagai pribadi maupun dalam kedudukannnya sebagai warga negara pada wilayah publik.

Memang peran-peran publik seperti di atas berada dalam wilayah moral, intelektual dan keilmuan, yang bagi sebagian penyandang profesi advokat dianggap kurang memiliki tempat dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hukum yang dibela. Pilihan posisi bias seperti ini dalam kenyataan memang suatu yang sulit dihindari dan cenderung menjadi arus utama terutama dalam mengemari ‘modal’ dan kekuasaan.

Kecenderungan ini menarik sekali mengingat advokat berada diantara persimpangan antara menjadi insan penegak hukum yang sarat tanggung jawab terhadap masyarakatnya atau menjadi penghamba profesional dalam spektrum angkatan kerja belaka yang bertugas memberikan jasa hukum dengan tangungjawab hanya seputar aspek teknis-ekonomis saja dan ‘mengabdi’ pada tujuan-tujuan kapitalistik.

Tak pelak masyarakatpun membaca kebimbangan profetik tersebut sebagai suatu yang melemahkan cita luhur dari upaya penegakan hukum yang diharap-harapkan. Dengan kata lain, bagi masyarakat mencari keadilan dengan bantuan advokat berarti mencari keadilan “yang bersyarat”, sebab tidak jarang advokat tidak lagi memposisikan diri sebagaimana tanggungjawabnya akan tetapi acapkali berposisi hanya sekadar penghubung antara klien kepada polisi, jaksa dan hakim.

Keberadaan UU advokat bagi kita pelaku profesi hendaknya musti disikapi dengan arif dalam mengartikulasikannya pada kenyataan tidak sekedar terkungkung pada batasan orang yang memberikan jasa hukum - sesuai bunyi undang-undang. Ia selayaknya dibaca dalam lingkup yang lebih luas mengingat suatu yang officium nobile tidak an sich sebatas kerangka sempit definisi yang diberikan undang-undang saja sehingga profesi tetap memiliki nilai dan peran menentukan dalam perubahan sosial berikutnya.

* Diajukan untuk dimuat pada majalah IKADIN

To days Quote

To Days Qoute

Disiplin

“Bertindak sesuai ucapan, berucap dengan komitmen”.

By. Ah.

SUKSES

“Bahwa keseksesan terletak dalam perjalanan”

(Mahatma Gandhi)

Pemimpin

“Leiders weg is a leiders weg”

(Jalan memimpin adalah jalan menderita)

H. Agus Salim.

HARGA KEHIDUPAN

“Tempatkanlah harga kehidupan di atas harga diri, dan tempatkanlah harga diri di atas harga materi”

(Kebijakan Waisak)

SUKSES

“orang-orang sukses menghadapi masalah sebagai tantangan, orang-orang gagal menghadapi masalah sebagai beban”.

Kepemimpinan

Kepemimpinan, apa itu ?, kepemimpinan merupakan bakat alamiah manusia, ia ada sebagai suatu yang alami. Kepemimpinan itu eksis saat kita manusia menginginkan sesuatu (visi) kemudian dilaksanakan dengan serangkaian tindakan atau upaya guna meraih keinginan itu (itulah apa yang disebut misi).

Contoh, ketika anda lapar timbul keinginan (visi) untuk makan, kemudian tidak begitu saja makanan didapatkan anda terlebih dahulu harus melakukan serangkaian tindakan (misi) untuk mewujudkan adanya makanan –misal; berburu, berdagang, bertani, membeli, memasak dan lain sebagainya- hingga tiba saatnya anda sukses mencapai tujuan anda yaitu makan.

Kepemimpinan kemudian diberi muatan yang tidak alamiah lagi melalui pendekatan pemahaman artifisial seperti tribalisme, agama, moral, cita-cita dan lain sebagainya pemahaman manusia dalam menjawab kebutuhan kehidupannya. Hal ini terkait erat dengan pola hidup bersama sebagai masyarakat yang di dalamnya terdapat persaingan untuk bertahan hidup (surviving) dengan cara mengatur kehidupan bersama tersebut.

Pemimpin menurut ajaran agama adalah yang sesuai dengan apa yang diiginkan ajaran tersebut, demikian juga pola kepemimpinan lain yang coraknya dan metodenya disesuaikan dengan paham-paham yang diyakini.

Iskandar Zulkarnain. Ia dikenang sebagai salah satu pemimpin agung sepanjang alur sejarah, cobalah lihat alasan Sang Iskandar memimpin lintas benua, tak lain adalah demi keutamaan suku bangsanya untuk bertahan dan mengatur kehidupan bersama.

Kemudian yang patut ditelaah, bagaimanakah Sang Iskandar menerima dan memahami kesukuannya itu sebagai alasan sah yang ia benarkan dan yakini untuk bertindak dalam kepemimpinan. Sebab luar biasa hasil yang didapat, dengan bekal keteguhan keinginan (visi) dan rangkaian tindakannya (misi) dapat dibayangkan sepanjang kawasan -pengaruh budaya helenis - eropa tengah melintas hingga sungai Indus (negeri seribu Brahma) berada dalam kepemimpinan Sang Iskandar.

Yang pasti untuk ini Sang Iskandar telah menjadikan semangat kesukuannya sebagai kebutuhannya yang alamiah seiring dengan pemenuhan kebutuhan pribadinya yang lain.

Jadi siapapun anda, anda mampu bertindak sebagai seorang pemimpin asalkan mampu bertindak seirama bakat alamiah anda.

Word by. hilman.

(from the idea traveler)

Leadership is character not as an occupation

Karakter Kepemimpinan Unggul

Karakter yang dibutuhkan dalam membentuk kepemimpinan unggul antara lain :

a. Jujur, tawaddhu’ dan amanah

Jujur

Adanya keserasian dan kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.

Tawaddhu’

Mengerjakan suatu perbuatan yang berulang-ulang secara konsisten dan sungguh-sungguh.

Amanah

Bertanggungjawab dalam melaksanakan setiap aktifitas.

b. Berani, disiplin dan sungguh-sungguh

Berani

Kemampuan berbicara, mengeluarkan pendapat dan berekspresi tanpa takut salah serta bertanggungjawab.

Disiplin

Kemampuan menyelesaikan suatu pekerjaan tepat waktu disertai keteraturan dan ketertiban dalam pengerjaannya.

Sungguh-sungguh

Adanya kemauan disertai usaha dan kerja keras dalam mengerjakan dan menyelesaikan masalah.

Tips-Tips

Tips-tips untuk berbuat jujur :

1. Jangan takut salah

2. Optimislah, bahwa kesalahan adalah awal munculnya kebenaran

3. Biasakan diri untuk di kritik dan memberi masukan

4. Ucapkan “permintaan maaf” bila melakukan kesalahan dan katakan “terima kasih” jika mendapat pujian atau apapun

5. Lakukan perenungan sebelum tidur, sambil mengingat kembali berbagai peristiwa yang anda alami hari ini. Catat dan camkan bahwa kesalahan hari ini tidak akan pernah terjadi esok hari

6. Katakan apa adanya, bila anda terlambat atau membatalkan pertemuan

7. Katakan pada semua lawan bicara anda, bahwa bercakap-cakap dengannya sungguh menyenangkan

Tips-tips untuk menjadi tawaddhu’:

1. Biasakan diri untuk tepat waktu

2. Menjadikan setiap pekerjaan adalah ibadah

3. Selalu gembira dan senang bila mendapat tugas

4. sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas

5. Tidak suka gosip

6. Gemar berbagai informasi serta tidak iri hati

7. Mengucapkan “selamat” bagi teman anda yang meraih prestasi

Tips-tips menjadi amanah :

1. Menjadikan setiap pekerjaan memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain

2. Melakukan evaluasi rutin

3. Mencatat kendala dan hambatan serta proyeksi ke depan

4. Menjadi panutan bagi orang lain.